Rabu, 16 Oktober 2013

Mengaduk kopi 33 kali

Saya punya kebiasaan jika membuat kopi saya harus mengaduknya sampai 33 kali. Sambil mengaduk, sambil menghitung 1-33 kali. Kebiasaan ini bermula ketika saya melihat sebuah iklan larutan penyegar sachetan sebut saja Ade*m Sa*ri. Dalam iklan tersebut dijelaskan bahwa sesudah kita menuangkan serbuk minuman tersebut kita harus mengaduknya sebanyak 33 kali. Entah mengapa semenjak itu ketika membuat minuman serbuk sachetan saya harus mengaduknya sebanyak 33 kali. Agak aneh sebenarnya untuk saya sendiri. Padahal saya sadar bahwa belum tentu adukan saya tepat 33 kali, tapi menjadi 'mind set' di pikiran bahwa saya harus mengaduk sambil menghitung 1 sampai 33. Well, saya penasaran untuk mengetahui penjelasan logis dari kebiasaan saya ini. Saya melakukan sedikit pencarian dari google. Berikut beberapa informasi mengenai angka 33:

  1. Air mendidih pada suhu 33 derajat celcius
  2. Yesus disalibkan pada umur 33 
  3. dalam tasbih kecil terdapat 33 biji tasbih yang akan menjadi 99 kali setelah dibaca 3 putaran
  4. Harry S.Truman adalah presiden AS ke-33 
  5. Bagi kepercayaan Kabbalah angka 33 mempunyai arti suci
  6. Manusia memiliki tulang belakang berjumlah 33 
Itulah beberapa info atau penjelasan terkait angka 33. Hmm, tapi sepertinya tidak ada satupun yang bisa menjelaskan kepada saya arti "adukan 33 kali".
Tidak sengaja saya menemukan sebuah quotes dari seorang designer ternama Italia, Giorgio Armani "to create something exceptional, your mindset relentlessly focused on the smallest detail"  . 
Benar juga apa yang dikatakan Giorgio, untuk menciptakan sesuatu yang istimewa, kita harus memperhatikan unsur-unsur pembentuknya secara detail. Untuk membuat kopi yang istimewa, harus mengaduk dan memastikan bahwa tidak ada bubuk kopi yang masih menggumpal. Agaknya pemahaman ini cukup membantu saya mengerti mengapa harus mengaduk sampai 33 kali.
By the way, hari ini saya bolos kerja loh. Ada panggilan interview sebagai reporter dari sebuah surat kabar inisialnya MI. Ini tahap yang ke-4, cukup panjang. Sama seperti perjalanan karir saya untuk bisa berkarir sebagai seorang reporter (belum menjadi, masih proses,catet!). Hampir 3 tahun menjadi karyawan kantoran di belakang meja, cukup membuat saya "jiper" untuk mencoba panggilan interview menjadi seorang reporter. Proses panggilan ini membuat saya ketakutan, karena saya harus menemukan kembali keberanian untuk menjadi seorang pencari berita, cita-cita saya dari dulu. Seperti memulai kembali membangun rumah, menyusun bata demi bata. Setelah melalui kebosanan tingkat dewa di pekerjaan saya yang sekarang, saya mengharuskan diri saya untuk keluar dari pekerjaan ini. Saya harus mulai menulis kembali di sebuah lembaran yang sudah lecek dan pudar. Apakah saya bisa membuat lembar itu bermakna, meskipun penampakannya diragukan. Adalah hal umum di Indonesia bahwa seorang reporter disebut kuli tinta, karena dengan usaha sekeras itu, hanya mendapat penghasilan sejumlah segini. Sangat mengkhawatirkan buat saya, apakah saya akan mendapatkan gaji yang lebih kecil dari gaji saya yang kecil saat ini, haha! Jika dibandingkan dengan gaji teman-teman saya yang berprofesi sebagai lawyer ataupun akuntan.
Keraguan terus-menerus menggangu saya dan saya tidak menyukai jika tidur saya tidak nyenyak karenanya. Pagi ini saya meminjam laptop teman saya (maklum habis kecolongan laptop dan belum ada duit lagi untuk beli) dan mulai menulis lagi di blog amatiran yang sudah terbengkalai hampir seabad (hiperbola).
Tiba-tiba saja, ketika saya berkutat mencari penjelasan "mengaduk 33 kali" saya menghubungkannya dengan keadaan karir saya saat ini.
Dan saya baru sadar, bahwa jika saya keterima MI ini akan menjadi tempat ke-3 saya bekerja (professional), kemudian akan menjadi tepat pengalaman 3 tahun saya sudah bekerja (dibalik meja), kemudian media masa ke-3 saya pernah berhubungan (republik*a, det*ik, dan MI). Pertanyaannya akankah saya bisa mendapatkan yang ke-3 ini, mungkin (hopefully) keputusannya hari ini. Karena cukup panjang tahap interview nya,fiuh!. Dan setelah itu muncul pertanyaan berikutnya yang lebih banyak, akankah saya mendapatkan gaji yang layak? apakah saya terlalu tua dan telat untuk menjadi seorang reporter? Dan masih banyak lagi.
Saya rasa saya terlalu banyak berpikir dan ketakutan. Padahal itu semua tidak menolong situasi saya saat ini. Saya terlalu banyak menahan dan merencanakan mimpi-mimpi, serba salah memang. Tapi saya rasa ini saatnya saya berhenti melawan hidup dan lebih untuk membiarkan hari dan hati berjalan seringan mungkin.
Hari ini tidak akan berulang, kenapa tidak membiarkan diri saya jatuh atau terbang sekalian. Dan semua pertanyaan dalam itu, mungkin sementara ini bisa dijawab dalam lirik lagu Only Time-nya Enya " and who can say where the road goes where the days flows only time..."